Hehehe, ngomongin buku lagi.
Ada secuil kisah mengenai buku ini. Oh iyaa, buku ini tidak masuk list 35 buku sebelum 35 tahun yaaa. Ada karya Andrea Hirata yang mau saya baca tapi bukan yang ini.
Kalau nggak salah, ceritanya sekitar 8 tahun yang lalu kurang lebih. Blog ini belum ada. Saya punya teman baik saat kuliah (sekarang jarang ngobrol bahkan via wa, wa saya sering tidak dibalas dan akhirnya saya malas berkontak dengannya).
Sebut saja namanya Ningsih. Nungish memberikan saya undangan pernikahan, tapi saya tidak datang kondangan karena alasan sibuk kerja. Namun sebenarnya saya nggak punya cukup uang dan ongkos ke rumahnya (kita beda kota, tapi tetanggan kota).
Zaman itu, saya masih sulit ekonomi (Sekarang juga masih), tapi dulu tuh keterlaluan sulitnya. Saat itu saya punya rekening bank BNI, niatnya mau buat jualan online. Ternyata tak satupun pembeli pernah transfer ke situ. Akhirnya rekeningnya saya tutup.
Alasan penutupan rekening adalah sudah tidak digunakan lagi. Padahal aslinya mau ambil uang 70rban di dalamnya untuk beli kado buat Ningsih. Saat itu, saya suka baca. Dulu zamannya Laskar Pelangi, gandrung dengan karya Andrea Hirata. Akhirnya dengan uang itu saya beli buku yang judulnya Ayah karya Andrea Hirata di Gramedia.
Uang 70an ribu dan saya harus nombok untuk ongkir dan kurangan ini sungguh perjuangan tak terlupakan. Saya pikir teman saya akan antusias, nyatanya tidak. Dia sudah bahagia dengan pernikahan dan bulan madunya di Bali. Buku sebiji tentu tidak ada artinya.
Meski demikian, ada perasaan iri atas buku itu. Irinya adalah saya si pemberi hadiah bahkan belum pernah membaca bukunya. Seperti apa kisah di dalamnya.
Waktu berlalu tidak membuat saya lekas membelikan buku yang sama untuk diri sendiri. Waktu berlalu begitu saja sampai ada stok tersedia di ipusnas kemarin. Tak pikir panjang, saya langsung meminjamnya. Dan saya baru tahu kalau waktu peminjaman di ipusnas adalah 5 hari saja. Maka dengan waktu satu hari saja, saya menamatkan bukunya.
Tuntas Sudah Perasaan Iri Saya Itu
Kalau yang sama-sama nikahnya belum. Dan belum pernah ke Bali juga. Nggak kepikiran pula bisa ke sana.
Hal yang kita inginkan. Kadang cuma “pingsan” terus ada lagi yaaa? Begitu bukunya bisa saya baca secara legal. Saya pun langsung ingin membacanya.
Ternyata Saya Nggak Bisa Lepas dengan Karya Andrea Terdahulu
Ayah.
Tersebutlah Bapak di kepala saya. Adalah sosok yang tidak sempurna. Saya pernah menangis sedu sedan dalam tetralogi laskar pelangi, saat ayah Ikal menggunakan baju terbaik untuk mengambil rapot anaknya. Di sini, di novel Ayah, tidak ada perasaan itu.
Sedikit kecewa tapi novelnya masih bagus.
Mengisahkan kisah cinta seorang Sabari pada Marlena sampai mereka menikah dan punya anak. Namun, Marlena tetap tidak menyukai Sabari. Hingga mereka berpisah.
Marlena dikisahkan meninggalkan anaknya Zorro yang diurus oleh Sabari sampai usia 3 tahun. Dalam usia pernikahan Marlena dan Sabari, Sabari menghitungnya mereka sudah bertemu hanya 4 kali. Uniknya, Andrea Hirata mengisahkan Marlena tidak sebagai perempuan jahat, melainkan sosok yang ingin bebas perpetualang dan sulit diatur.
Latar kisah juga tidak jauh dari karya Andra Hirata sebelumnya. Dalam novel ini ditulis dalam pandangan orang ketiga, yang mana Andrea masih dengan kekuatan story tellingnya.
Sebenarnya di Awal Itu Berat, Saya Hampir Menyerah
Iya, untuk satu adegan saja. Penulis mampu membuat narasi yang sangat panjang. Sangat khas karyanya. Namun, di sisi lainnya, agak membosankan menurut saya.
Mulai agak panas di bagian pertengahan saat konflik seperti Sabari yang sendirian mengurus anak dan kemudian sang anak Zorro diambil darinya dan dibawa oleh Marlena.
Saya juga sempat berpikir perjumpaan nanti yang akan fantastis. Nyatanya tidak juga. Bagian Marlena dan pandangan Sabari tidak dikisahkan. Hanya kisah besarnya saja. Tentang kisah penyu juga kayaknya eeemmmm.
Emmm saya nggak mau spoiler sih.
Harunya tetap dapet. Bagaimanapun kisah tentang kemiskinan tak terperi bagi saya adalah selalu menjadi kisah yang mengharukan.
Pada buku juga dikisahkan mengenai banyak puisi. Andrea Hirata mungkin lihat daun tergeletak di tanah saja sudah bisa membuat puisi.
8 Tahun
Diperlukan lebih dari 8 tahun untuk saya membaca buku ini. Alhamdulillah membacanya secara legal meski online dan membuat pandangan agak buram.
Membaca novel ini uniknya malah tentang tokoh jahat yang jahatnya nggak dinampakkan dalam narasi penulis. Marlena, kalian bayangkan saja. Istri macam apa yang meninggalkan anaknya yang masih bayi sampai 3 tahun. Kemudian dia kawin cerai sepanjang jalan dan hidup nomaden. Tak cukup itu, dia tidak memikirkan perasaan Sabari.
Sabari yang hampir putus sekolah karena ditolak cintanya ini juga tidak menampakkan kebencian pada Marlena. Sabari hanya ditunjukkan perasaan rindu anaknya yang tak hilang, dan dirinya yang cinta buta dengan Marlina sebelum Zorro lahir.
Sementara saya? Mudah sekali bilang orang jahat.
Oh iya. Ada rasa syukur juga bisa menuntaskan penasaran saya. Entah teman saya yang diberi buku ini membaca atau tidak hadiah saya itu.
Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu.
Oh iya, link trakteer mimin di sini. Terima kasih.