Membaca Slilit Sang Kiai Emha Ainun Nadjib

Membaca Slilit Sang Kiai Emha Ainun Nadjib

Membaca Slilit Sang Kiai Emha Ainun Nadjib – Entah apa yang membuat saya rasa-rasanya selalu ingin membaca karya dari Cak Nun dan Slilit Sang Kiai sebenernya sudah saya baca saat umur saya masih 20an tahun (dan please nggak usah tanya umur saya berapa sekarang).

Slilit Sang Kiai merupakan kumpulan kolom yang ditulis Cak Nun pada tahun 80an dan awal tahun 9an. Ya bisa dibilang zaman tahun itu saya boro-boro bisa baca. Tahu Cak Nun saja nggak, tapi buku ini sakti lho bisa cetak ulang hingga sekarang dan denger-denger katanya ini buku Cak Nun yang paling laris.

Lalu apa sih bagusnya dari kumpulan kolom yang ditulis zaman dulu, apa masih relevan di zaman now?

Masih relevan dan masih menarik dan saya suka sama gaya Cak Nun kalau nulis. Rasa-rasa benar adanya jika beliau ini seperti tahu banyak jurus-jurus menulis dan bicara, hehe. Slilit Sang Kiai, di dalamnya menyangjut bayak persoalan soisl, politik, agama, bahkan hal-hal remeh tapi bermakna dalam.

Slilit Sang Kiai merupakan kolom pembuka tulisan Cak Nun lainnya, padanya diceritakan bahwa seorang Kiai mengambil pohon milik orang lain tanpa permisi untuk slilit makanan yang nyelip di giginya dan ia tidak masuk surga karenanya.

Membaca Slilit Sang Kiai Emha Ainun Nadjib

Hal-hal yang saya suka, berikut adalah potongan-potongannya.

  1. Tetapi, Allah tidak mempunyai kebutuhan, laba dan rugi atas bersedia atau tidaknya manusia mengenali kemesraan cinta-Nya. Bahkan, jika manusia menyelewangkan waktu dan ruang kemerdekaan yang Dia berikan. Dia tetap pada ada-Nya, tak menangis dan tak tertawa. Allah tidak berduka atas fasisme politik, tidak terluka hati-Nya oleh dehumanisasi, tidak stessed oleh sikap abai peradaban manusia kepada-Nya.
  2. Memang apa yang sungguh-sungguh ada selain Dia?
  3. Anak-anak bingung, adakah yang mereka hadapi ini ketakutan, atau kecemasan.
  4. Padahal Rahwana tak pernah mati. Rahwana diikat, diimpit oleh dua gunung, dan dijaga keterpenjaraannya oleh Panembahan Anoman. Kera putih ini adalah lambang bagaimana hewan meningkatkan derajatnya menjadi berfungsi manusia, berbeda dengan salah satu kecenderungan manusia modern yang menurunkan derajat kemanusiaanya ke taraf binatang, bahkan taraf materi atau berhala.
  5. Kebenaran memang sering kali terasa lucu, sementara kejahatan bisa hadir secara amat polos, wajar, “tanpa dosa”.

Baca juga ; Resensi Daur 1 Cak Nun.

Pokoknya banyak deh yang saya suka, kalau dilihat dari potongan yang saya suka di atas, amat sangat terlihat jelas bahwa “pendekatan” Cak Nun sangat beragam dalam kumpulan kolomnya dalam Slilit Sang Kiai. Kita juga bisa “slulup” keadaan politik di era itu (sekitar akhir 80an dan awal 90an). Membaca kumpulan kokom ini juga seperti rasa membaca jejak-jejak suram di masa lalu yang bisa dijadikan pelajaran untuk hidup yang lebih baik di masa sekarang dan mendatang.

Kumpulan kolom Slilit Sang Kiai direkomendasikan?

Yup, buat kalian yang mau coba baca-baca kumpulan esai, rasanya ini akan jadi pilihan yang bagus.

 

 

 

 

 

You May Also Like

2 Comments

    1. artinya Mbah Nun membuat sebuah tulisan dengan pandangan yang jauh. Jadi, saat bukunya keluar, jelas relevan dengan keadaan saat itu. Pun saat ini demikian. atau jangan-jangan, kita seharusnya curiga dengan peradaban, apakah benar-benar maju seperti yang sering orang bicarakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!