Membaca Markesot Bertutur Emha Ainun Nadjib

Membaca Markesot Bertutur Emha Ainun Nadjib

Membaca Markesot Bertutur Emha Ainun Nadjib

Berapa Harga Kebahagiaan oleh Emha Ainun Nadjib

Ada pertanyaan dalam angket: “Apakah Anda merasa hidup Anda bahagia? Markesot menjawab tegas: “Ya!”

“Apa bahagia sama dengan senang? nikmat, enak, tentram dan bahagia, dan seterusnya?”

“Tidak. Tidak sama. Enak, sedap dan nyaman termasuk tingkat rendahnya. Kita nyuluh kodok atau ngopor kedelai itu nyaman, tak bisa kita sebut bahagia. Ngintip wanita mandi itu sedap, tapi bukan bahagia. Minum kopi ginashtel sambil ngemutrokok itu nikmat, tapi ‘kan bukan bahagia. Bahagia lebih tinggi tarafnya. Kalau senang atau sedap ada lawan katanya, tapi bahagia tidak. Senang itu lemah, karena bisa diubah menjadi kecut. Sebab apa? Sebab, senang atau sedap bergantung pada kondisi objektif. Ia bersifat temporal, situasional. Sedangkan bahagia itu abadi, kuat perkasa, dan tidak bisa diubah. Sebab, bahagia bergantung pada sikap batin, bergantung pada cara seseorang mengolah mentalnya dalam menghadapi kehidupan.”

“Apakah ada alat untuk mencapai kebahagiaan?”

Jawab Markesot, “Cinta.”

“Bisa Anda jelaskan?”

Membaca Markesot Bertutur Emha Ainun Nadjib

“Begini,” Markesot berceramah seperti profesor, “cinta kualitasnya sejajar dengan bahagia, ruh, dan diri. Ruh itu inti kemakhlukan manusia. Ruh tidak lelaki, tidak wanita. Ia utuh. Bahagia hanya dicapai oleh pengolahan ruh. Karena ruh dan juga tidak lelaki tidak wanita, bahagia pun tidak antagonistik: tidak ada lawan katanya. Ia utuh.”

Markesot meneruskan, di kertas tersendiri yang dilampirkan di balik kertas angket., “Dimensi yang lebih luar dari ruh adalah jiwa. Pada dimensi jiwa, baru ada potensi kelelakian atau potensi kewanitaan. Kemudian, dimensi yang paling luar adalah badan. Pada badan dijelaskan lembaga lelaki dan wanita. Tapi sebenarnya setiap lelaki punya unsur kewanitaan, dan setiap wanita punya unsur kelelakian. Makanya, anak baik-baik bisa jadi wadam; itu karena unsur kelelakian atau kewanitaannya disuburkan secara tidak setia pada kodrat badaniahnya. Nah, sekarang kita hubungkan soal bahagia, senang, dan seterusnya itu.

“Seperti ada friksi antara lelaki dan wanita, maka ada konflik antara senang dan benci, antara sedap dan kecut, antara nyaman dan sumpeg, dan seterusnya. Tapi, dalam kebahagiaan tidak ada konflik. Seperti juga dalam cinta, tidak ada konflik. Misalnya, Anda tidak senang pada kelakuan tertentu pada suami atau istri Anda, tapi sementara itu Anda tetap mencintainya. Jadi, senang itu bergantung pada keadaan. Kalau istri setia, ya Anda senang. Kalau tidak, ya tidak senang. Tapi, kalau cinta itu tidak digugurkan dengan keadaan apapun. Biarlah kekasih Anda menyakiti Anda, Anda tetap mencintainya. Karena tingkat mutu cinta lebih tinggi daripada jiwa, di mana ada lelaki dan ada wanita, ada senang dan ada benci.”

Mungkin Anda bertanya, “ Apakah benci bukan lawan dari cinta?”

Markesot menjawab, “Bukan. Bacalah Kahlil Gibran. Benci adalah cinta yang disakiti.Benci adalah cinta yang merasakan sakit, tapi yang merasakan sakit itu ya tetap cinta namanya. Jadi, sekali lagi, cinta itu utuh, kental, abadi. Seperti ruh,  seperti rasa bahagia itu sendiri. Itu makhluk batiniah yang amat dekat letaknya di sisi Allah. Bukankah Allah juga tidak lelaki tidak wanita?”

***

Tulisan di atas, adalah salah satu tulisan dari Cak Nun yang mengantarkan saya pada buku-buku yang ia tulis sebelum dan sesudah Markesot Bertutur. Tulisan di atas adalah salah satu gerbang bagi saya untuk lebih ingin tahu tentang Maiyah dan kajiannya. Dan bisa dibilang saya jatuh cinta olehnya. Karena tidak ada kerinduan yang paling indah kecuali kerinduan di mana orang-orang berkumpul karena Rindu pada Tuhannya.

Kembali ke Markesot Bertutur. Buku ini dibilang jadul ya jadul, dibilang kekinian ya kekinian. Cetakan pertamanya tahun 1993 dan sudah tiga edisi sampai sekarang. Saya baca yang edisi tiga, terbit tahun 2015. Bahasannya macam-macam, tentang kekuasaan, agama dan peradaban, etos sosial, ritus dan religiositas, politik perang teluk,  sikap hidup, sosok dan kaum tersisih.

Awal-awal membaca sangat terkesan satir, tapi diajak “mikir”. Dialognya sangat membumi dan ditempeli beberapa bahasa jawa, jadi saya lumayan kerepotan karena mesti bolak-balik glosarium. Saya memang orang jawa, tapi kadang ada yang nggak ngerti juga, maklumlah saya jawanya jawa barat. Bolak-balik KBBI juga karena beberapa kata yang tak dipahami. Nggak masalah sih, wess biasaaa

Guyonan dan pemikiran ala Markesot bisa bertutur hal yang sangat filosofis sampai yang sederhana sekalipun dan walaupun umur buku ini sudah 25 tahun namun tepat tertuju pada permasalahan-permasalahan zaman sekarang. Eh, btw masalah hidup dari zaman kapan sampe kapan emang itu-itu aja? atau masalah yang ada sejak dulu tidak terselesaikan? Emm… Konteks dan situasi bisa beda, hakikat masalah tetep ngono-ngono wae.

Semoga Cak Nun selalu sehat ya.

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!