Hidup Bukanlah Perlombaan
Tulisan di sini adalah sepenuhnya tulisan dari Gobind Vashdev yang sepenuhnya diambil dari buku Happiness Inside yang bisa kalian baca reviewnya di sini .
Tulisan ini sudah mendapatkan izin untuk disebar oleh penulisnya. Jadi, semoga kalian mendapatkan manfaat dari apa yang kali ini saya ketikan pada postingan kali ini. Tujuan saya mem-pos ini adalah hanya sebagai pengingat untuk diri saya sendiri. Terima kasih apabila kalian ikut serta menyebarkannya. (diambil pada halaman 101 hingga 110)
Jika Anda bekerja di suatu perusahaan, biasanya pada penghujung tahun, para pemimpian perusahaan memberi atau kembali menegaskan target yang lebih besar di tahun depan yang akan dilalu bersama, atau juga kalimat motivasi yang tiba-tiba muncul di papan pengumuman atau sanduk dengan kata-kata seperti “selamat merayakan tahun baru” di awal tulisannya. Dalam skala pribadi mungkin banyak dari pembaca yang menetapkan target untuk diri sendiri, seperti bekerja lebih keras atau mengumpulkan uang dalam jumlah yang lebih banyak, bangun lebih pagi setiap harinya atau mulai melakukan sesuatu yang baru seperti memulai usaha sampingan. Jika dilihat-lihat, hari ini kita semua hidup dalam sebuha dunia yang sangat menarik, menariknya adalah kita semua seolah-olah hidup dalam sebuah perlombaan akbar. Dan dalam perlombaan itu, siapa yang mengumpulkan lebih banyak dan lebih cepat, terutama dalam bidang materi itulah yang akan jadi pemenangnya. Dalam planet yang berpenghuni hampir tujuh milyar ini kata-kata efisiensi dan efektifitas, telah menjadi dua resep sukses yang mungkin sudah ribuan kali kita dengar. “waktu adalah uang” juga sebuah doktrin tak langsung yang telah menembus ke relung bawah sadar kita, yang membuat kita selalu berkejaran dengan waktu dalam mengerjakan apa pun, dan yang lebih menarik adalah anggapan bahwa apapun pekerjaan kita yang tidak menghasilkan uang adalah buang-buang waktu.
Sisi teknologi berkembang super cepat menyokong tuntutan zaman, komputer yang ada hari ini sudah puluhan bahkan ratusan kali menyimpandata lebih banyak dan ribuan kali mengakses data lebih cepat dari komputer paling canggih sepuluh tahun lalu, tapi lagi-lagi menariknya, semakin banyak yang memaki-maki benda mati tersebut karena sering dianggap “lambat”. Seseorang yang mengetik dengan mesin tik kuno, bermimpi suatu hari punya komputer dan koneksi internet supaya dapat menghemat waktu kerja, dengan harapan sisa waktu yang dapat digunakan berkumpul bersama keluarga, tetapi ketika impiannya terwujudu, yang terjadi adalah, waktu untuk keluarga terhisap habis oleh kursi di deoan komputer. Ada yang aneh bukan? Para sahabat yang tinggal di kota metropolitan sering bekata “Seandainya waktu dalam sehari 36 jam”. Terburu-buru sudah menjadi merk dagang di kota-kota besar, dari bangun pagi dengan kepenatan yang menempel di sekujur tubuh kita terburu-buru mandi, bekerja tanpa sarapan, ngebut di jalan, kerjaan menggunung dan rasa-rasanya tidak selesai-selesai dan dibayangi oleh deadline, makan siang dengan menu cepat saji, dan pulang kerja semakin larut. Dalam membesarkan anak-anak pun kita ingin buru-buru, kita ingin anak-anak menjadi “dewasa” dengan cepat, kita memberikan segala macam makanan, pendidikan hingga cara berpikir agar si anak tumbuh lebih cepat agar dapat bersaing dengan putaran cepat roda dunia. Kita tahu bahwa masa paling indah di dunia ini adalah masa anak-anak, masa di mana kita hanya bermain dan bermain, bahkan secara jujur banyak dari kita ingin ke masa indah tersebut dan menikmatinya lebih lama.
Kata sibuk sudah menjadi makanan sehari-hari bagi sahabat yang tinggal di kota besar. “tidak punya waktu” adalah alasan favorit untuk alasan tidak olahraga misalnya dan ada juga yang bangga menyebut dirinya “sibuk”, ada juga yang berpersepsi semakin sibuk diri ini semakin kita dekat dengan kesuksesan, tetapi jika kita tidak mau membuka mata, kenyatannya tidak begitu bukan? Buktinya banyak sekali orang yang selalu sibuk dari bangun tidur hingga mau tidur, tidak memperoleh kesuksesan, baik materi maupun spiritual. Seorang penulis jernih Chin-Ning Chu yang terkenal melalui bukunya Thick Face Black Heart mengatakan bahwa, “Kata Cina bagi “sibuk” terdiri dari dua bagian. Satu bagian melambangkan hati manusia dan bagian lainnya melambangkan kematian. Dari lambang di atas, arti yang dapat dikembangkan adalah jika seseorang super sibuk, hatinya mati.” Seseorang yang sibuk tidak memperhatikan tubuhnya, intuisinya berhenti, dirinya tidak mendengar jeritan hatinya kerena terlalu banyak yang berbica di kepalanya. Filsuf abad ke 19 Henry David Thoreau juga pernah mengatakan “Tidak cukup jika Anda hanya sibuk. Pertanyaannya adalah apa yang Anda sibukkan?”
“Sebenarnya saya tidak ingin, tetapi ini kan tuntutan hidup, mau bagimana lagi?”
Hidup tidak pernah menuntut, kitlah yang menuntut diri kita untuk menjadi dan memperoleh sesuatu, bahkan dalam pencapaian impian tersebut, seseorang rela untuk mengorbankan kedamaian pikirannya. Padahal kita semua sadar bahwa sebenarnya semua impian manusia berujung pada satu hal yang benar-benar dasar yang setiap orang inginkan, yaitu kedamaian pikiran. Kedamain pikiran inilah yang kita cari dan dengan kedamaian pikiran inilah kualitas hidup bisa diraih.
“Lho, jika kita tidak buru-buru, kerjaan kan tidak akan selesai?” bedakan antara bekerja dengan cepat dan bekerja dengan ketegasan. Coba perhatikan irama hidup ini, apakah kita selaras atau hidup dengan selalu dikejar deadline.
Saya mempunyai sahabat yang selalu merasa hidupnya dikejar-kejar. Hampir setiap jam alarm pengingatnya bunyi, dia selalu resah karena harus melakukan kegiatan lain, sementara kerjaan yang ada sekarang belum selesai. Ini berlangsung bertahun-tahun dan telah menjadi kebiasaanya, selalu dia mengeluh bahwa hidupnya tidak pernah santai. Dia mengorbankan kedamian pikirannya untuk mengejar impian-impiannya. Sewaktu saya meminta untuk mengurangi yang tidak penting dan berfokus pada yang penting saja, dia menolaknya dan berkata “semuanya penting”. Dia ingin mengambil semua kesempatan sehingga menjejali hari-harinya dengan penuh. Stephen Covey, penulis buku best seller, 7 habits berkata “jangan memprioritaskan jadwal Anda, tetapi jadwalkan prioritas Anda.” Dengan menjadwalkan proritas kita mulai memilih apa yang benar-benar perlu dan apa yang tidak. Ketika kita sudah memisahkan apa yang benar dan tidak, kita akan sadar bahwa banyak hal yang perlu dan baik, tetapi tidak sempat kita kerjakan. Seorang teman tidak punya waktu berolahraga setidaknya 30 menit perharinya, tetapi banyak menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi, yang lain tidak punya waktu untuk membaca, tetapi bergosip ria sepanjang sore hingga malam dengan teman-temannya. Di India ada pepatah “kekurangmampuan untuk melihat apa yang lebih penting atau yang lebih bermanfaat adalah bahaya terbesar”.
Banyak dari teman-teman saya yang mulai berbisnis termasuk saya, dulunya punya prinsip yang penting mengumumkan materi sebanyak-banyaknya dahulu, bekerja mati-matian saat muda karena ingin menikmati hidup si usia tua nanti. Tentu tidak salah dengan prinsip di atas, tetapi setelah lama mengamati teman-teman pebisnis tersebut mengapa saya jarang menemukan orang yang sudah terbiasa dengan kesibukkannya, dan berhasil dalam pencapaian materinya kemudian teringat dan setia dengan janji sewaktu mudanya? Kebanyakan yang saya temui mereka terikat oleh rutinitasdan merasa sayang jika semua yang telah dirintisnya, ditinggal begitu saja.
Dan jika berbicara menikamati hidup di hari tua, saya mempunyai sebiah cerita yang sangat inspiratif yang saya ambil dari buku karya Anthony de Mello.
Ada seseorang usahawan yang bertemu dengan seorang nelayan yang sedang santai duduk di pinggir-pinggir pantai dan terlihat sangat menikmati suasana itu.
“mengapa engkau tidak pergi untuk menangkap ikan?” tanya usahawan itu.
“karena ikan yang kutangkap telah menghasilkan banyak untuk makan hari ini”. jawab nelayan itu dengan polosnya.
“kenapa engkau tidak menangkap lagi lebih banyak daripada yang kau perlukan?” tanya sang usahawan.
“untuk apa?” tanya nelayan sederhana itu.
“Engkau akan dapat uang lebih banyak,” jawabnya, “dengan uang itu engkau dapat membeli jala yang lebih besar sehingga tangkapanmu lebih banyak , lalu engkau akan mendapatkan banyak uang sehingga dapat membeli perahu motor. Dengan perahu motor, engkau akan melaut lebih jauh dan akan mendapatkan ikan yang lebih banyak lagi… nah, setelah uangmu cukup untuk membeli dua buah kapal, lalu kau pun akan kaya seperti aku.”
“selanjutnya aku mesti berbuat apa?” tanya si nelayan.
“selanjutnya kau dapat beristirahat dan menikmati hidup.” Kata sang usahawan.
“menurutmu aku sekarang ini sedang berbuat apa?”. Kata nelayan puas.
Kita dapat menikmati hidup kapan pun dan di mana pun, sayang sekali jika kita membatasi diri kita dengan baru akan menikmati hidup dengan syarat punya jumlah tabungan tertentu atau pada usia tertentu.
Mungkin indahnya bintang, deburan ombak juga sejuknya udara pegunungan serta merdunya kicauan burung adalah suatu hal yang biasa saat ini, tetapi lebih sering dengan waktu yang terpacu dengan usia, ketika penglihatan dan pendengaran serta kondisi tubuh yang mulai melemah, maka bisa jadi semua hal di atas akan berubah menjadi barang antik atau langka.
Seperti yang ditulis di atas, sekarang ini kita seperti hidup dalam perlombaan, kita mengumpulkan segala sesuatunya, kita ingin mendapatkan segala sesuatunya yang kita inginkan, cinta yang berlimpah, perhatian yang lebih banyak, dihormati lebih sering , rumah yang lebih besar dan uang yang bertambah terus. Manusia benar-benar dalam perlombaan mengumpulkan. Henry Louis Bergson yang pada 1927 menerima nobel kesustraan pernah berujar, “makhluk manusia seharusnya tidak disebut Homo sapiens “makhluk berpikir, tetapi homo faber “makhluk yang membuat benda”. dalam bahasa inggris pun kita menyebut manusia dengan Human Being bukan Human Having. Menjadi apa bukan mempunyai apa. Dahulu seseorang yang sukses adalah orang yang paling dapat menjadikan dirinya sesuatu, dia yang menjadikan dirinya seseorang yang sabar, seseorang yang dapat memberikan petunjuk atau nasehat atau mereka yang mempunyai kemampuan untuk berbuat bagi banyak orang, tetapi yang terjadi sekarang adalah seseorang yang dapat mengumpulkan benda sebanyak-banyaknya adalah orang sukses. Kita lupa prinsip keseimbangan, seperti tubuh yang susah bergerak karena membawa banyak benda, begitu pula dengan jiwa kita yang susah untuk bertumbuh jika kita membebaninya. Ada baiknya kita mencontoh alam raya yang selalu berorientasi untuk selalu memberi tanpa memperhatikan apa yang akan diterima. Lihatlah matahari yang selalu memberi tanpa membeda-bedakan, dan karena itu lihatlah segala tanaman tumbuh menghadap ke matahari. Hidup yang mengalir seperti yang dikatakan para tetua kita bukankah hanya menuruti apa yang hati katakan, tetapi lebih dalam dari itu. Hidup yang seimbang adalah hidup yang selaras dengan alam ketika kita selalu berorientasi dengan memberi dan memberi. Dengan indahnya Winston Churchill berjata, “Kita hidup dari apa yang kita dapatkan dan kita bahagia dari apa yang kita berikan.” Sekali lagi, hidup bukanlah sebuah perlombaan mengumpulkan sebanyak-banyaknya, tetapi atas apa yang kita dapat berikan sebelum meninggalkannya.
Wah bagus banget…sangat kebetulan dengan apa yang kurasain sekarang. Terima kasih untuk tulisannya.
sama-sama kak.