Resah di Ruang ICU Covid 19

Resah di Ruang ICU Covid 19

“Meskipun Bapak kakinya masih goyang-goyang. Sebenarnya tidak kesadaran sudah sangat memburuk. Bapak resah.”

Itu adalah kalimat yang terucap dari dokter jaga di ruang ICU. Malam hari pada tanggal 20 Agustus 2021. Sekitar pukul 00.00 kurang 15 menitan.

Kalimat-kalimat penjelasan mengenai keadaan Bapak yang memburuk mampu saya ingat, kekentalan darah yang sungguh terlalu, sampai 14rb sedangkan normalnya 500, darah tinggi, kolesterol, penggumpalan darah di otak, pneumonia di paru-paru, dan saturasi yang hanya di angka 60an.

Saya sendirian di ruang tunggu ICU sebagai pendamping pasien. Orang-orang yang keberadaannya dekat dengan Ibu saya sulit dihubungi. Meski besar keinginan saya untuk bicara. Setidaknya menambah-nambah doa.

Saya mengangguk tanda cukup paham mengenai kondisi Bapak. Covid 19 telah benar-benar memberikan efek combo pada keadaan Bapak dengan riwayat diabetes.

Tidak nampak jelas wajahnya di monitor CCTV. Saat hendak keluar ruangan, saya melihat dari bilik kaca. Kaki Bapak dan kain serta sarung yang saya kenali.

Ini jelas akan jadi malam dan hari yang panjang.

Segera saya mengetik di pesan WA bagaimana keadaan Bapak. Merangkum apa yang terlah dijelaskan oleh dokter.

Dan hanya satu kalimat yang tidak mampu saya tuliskan saat itu. Bahwa, “Bapak resah.” Kalimat itu yang paling menohok saya. Membayangkan betapa Bapak seorang diri menghadapi sakit yang dideritanya. Sendiri di ruangan ICU Covid yang sudah pasti dingin.

Saya tahu ruangan-ruangan seperti sangatlah dingin. Berdasarkan pengalaman saya sebelumnya ketika berusia 24 tahun, tak berdaya di ruang HCU.

Untuk mencari angin segar dan mencoba berpikiran jernih. Saya pergi ke sofa di ruangan lainnya. Dekat dengan catu daya untuk mengisi power pada ponsel.

Saya diam. Memikirkan kalimat dokter lagi. Bahwa kalimatnya adalah tentang menunggu keajaiban saja.

Sedikit pesimis. Keajaiban adalah hal yang sepertinya jauh dalam kehidupan saya yang sudah-sudah. Mungkin kalau ada pribahasa, “sudah jatuh tertimpa tangga” lebih sering saya alami di masa lalu.

Satpam mendekati saya. Ia berkata, “Pendamping pasien ICU? Jangan di sini nunggunya. Di ruangan saja.”

Sambil menunjukkan gelang putih di tangan kanan, saya berkata. “Lagi ngecas hape Pak. Di dalam penuh terminalnya.”

Dari pukul 00.00 entah lebih berapa. Sampai hampir pukul 03.00 saya pun kembali ke ruangan tunggu. Saya tidur. Meski tidak benar-benar tidur. Saya mendengarkan banyak bunyi alarm.

Subuh, saya bangun. Masih sempat bisa solat berjamaah.

Ketika naik kembali ke atas. Sudah sekitar pukul 05.15 pagi.

Belum saja masuk ke ruangan tunggu. Perawat keluar dari ICU. Menanyakan kepada saya, “keluarga Bapak Sujima?”

Saya mengangguk dan diminta masuk ruangan.

Kembali saya mendapatkan penjelasan dari dokter. Bahwa waktu-waktu ini cukup genting. Tim Medis sudah mencoba memberikan yang terbaik yang mereka bisa, sedang ditunggu apakah detak jantung Bapak datang kembali.

05.21. benar-benar tidak ada angka-angka dalam monitor. Semua angka-angka nampak lenyap. 05.25, menjadi waktu kematian Bapak dalam surat kematian yang saya bawa pulang.

Saya keluar. Mencari dimana saya bisa melihat Bapak.

Perawat memberikan isyarat “Jangan masuk” saat saya sedikit melangkahkan kaki. Saya diminta menunggu untuk prosedur berikutnya dan mengurus administrasinya.

Saya keluar. Menelepon sana sini. Kesal sekali. Tidak ada yang langsung memberikan respon. Satu respon tercepat dilakukan Bibi saya. Bibilah yang kemudian mengabarkan pada Ibu saya bahwa Bapak telah berpulang.

Saya menunggu keluarga lain datang. Yang datang adalah adik ipar Bapak (Paman saya dan istrinya). Kemudian disusul oleh menantu Bapak (Suami dari Mbak).

Saya nunggu anak Bapak yang lainnya datang. Ternyata tidak ada yang datang.

Dalam proses pemandian. Saya memakai baju hazmat lengkap. Saya membantu proses pemandian, bahkan ikut membopong di bagian kaki.

Saya yang meniatkan memandikan jenazah (Dengan dituntun petugas). Saya pula yang meniatkan mewudhukan jenzah yang lag-lagi dengan tuntunan petugas.

Usai semuanya. Bapak disolatkan, di depan ruangan pemandian. Hanya tiga orang (termasuk imam) yang menyolatkan Bapak.

Dengan ambulance, Bapak dibawa ke pemakaman dekat rumah. Langsung ke pemakaman begitu sampai dan disolatkan kembali.

Sekitar pukul 10.34 semua proses pun selesai.

Saya pulang ke rumah tanpa Bapak.

Soal Kematian

Kematian bukanlah sesuatu yang buruk. Sebagaimana hal yang wajar dalam hidup. Jika kelahiran disambut dengan kebahagiaan. Maka kematian pun seharusnya menjadi pintu ke kebahagiaan yang lain.

Manusia mana yang tidak bahagia kembali ke pelukan Penciptanya?

Pada proses pemulasaran secara covid, dari Bapak di IGD, ICU, sampai pulang. Saya banyak menarik napas panjang. Pikiran saya harus jernih. Saya harus kuat karena sendirian.

Bayangkan, tidak ada seorangpun yang tahu lebih dulu keadaan Bapak. Tidak ada pula teman bicara. Sesekali saya bicara pada orang asing, yang sama-sama sedang menunggu keluarganya di ICU.

Di IGD. Pada malam pertama. Saya sudah menyaksikan kematian seseorang di samping Bapak.

Saya juga sudah menyaksikan Bapak yang pergi.

Masih ingat. Bapak nampak seperti tidur saja. Ia nampak beristirahat. Jadi, saya doakan Bapak dalam kedamaian yang selalu.

Tiap melihat update tentang jumlah angka yang meninggal dan terkonfirmasi positif covid 19. Saya mengingat Bapak. Bahwa pada angka itu ada Bapak.

Bapak yang mengantarkan saya pas masuk sekolah SD. Bapak yang mengantarkan saya selama hampir satu tahun berobat paru-paru. Bapak yang selalu menawarkan makanan. Bapak yang katanya mau bikin kandang kucing tapi lebih dulu pulang. Bapak yang nyiramin tanaman saya kalau saya sibuk. Bapak yang bikinin kandang bebek, sebab saya beli bebek tbtb.

Bapak yang bisa diandalkan urusan pertukangan. Bapak yang memang nggak sekolah tinggi. Selalu tampil dengan pakaian sederhananya. Enggan pakai pakaian bagus padahal punya.

Belum satu tahun adik saya berpulang. Bapak sudah menyusul.

Maafkan saya Pak. Yang lebih khawatir tentang bagaimana membayar tagihan kesehatan dibandingkan kesehatan Bapak.

Maafkan saya yang IPKnya nggak sampai 3. Saya masih ingat waktu itu Bapak marah.

Maafkan saya yang belum bisa kuliah lagi dan bikin foto bareng. Karena foto saya pas S1 cuma ada 1. Karena ongkos yang dibawa Bapak dan Emak hanya 100rb. Tidak cukup untuk banyak foto. Sedangkan disaat yang sama, hape saya ilang.

Tahun-Tahun yang Berat

Bapak saya hampir selalu tidak punya uang. Semua uang yang diperolehnya diberikan pada Emak. Sebelum Bapak sakit. Ibu saya jatuh sakit lebih dahulu. Setelah Ibu saya mulai pulih. Bapak tambah sakit.

Saat Ibu dan Bapak dirawat di rumah. Otomatis mereka tidak bekerja dan menghasilkan uang. Kadang, kami makan seadanya saja.

Masih dalam ingat juga. Bapak saya suapi sop buah. Saat itu Bapak tidak juga merespon pertanyaan saya. Tapi Bapak makan.

Seperti Kebanyakan Orang Lain

Saya harus secukupnya bersedih.

Saya harus kembali semangat. Terlebih, hanya sayalah anak Emak yang belum punya tanggungan keluarga.

Kemarin saya buka toko untuk petshop yang saya miliki. Pelanggannya belum banyak. Kemarin ada satu yang beli.

Doakan semoga bisa ada banyak pelanggan dan bisa beli stok lain.

Tetap semangat untuk diri saya. Untuk kalian juga yang sedang berjuang dalam masalah hidup kalian masing-masing.

Nikmat sehat adalah nikmat yang tidak hanya indah. Tapi sangatlah berharga.

Semoga kalian senantiasa sehat. Keluarga kalian juga.

You May Also Like

10 Comments

  1. innalillahi wa inna ilaihi roji’un
    Allah lebih sayang bapaknya kk admin
    semoga Allah memberikan tempat terbaik di sisi-Nya kepada bapaknya kk admin

  2. Innalillahi wa innailaihi roji’un
    semoga almarhum Bapak husnul khotimah, dilapangkan kuburnya dan buat mbak serta keluarga besar smoga diberikan kekuatan, keihlasan dan ketegaran
    tetap semangat dan selalu diberikan kesehatan

  3. Innalillahi wainna ilaihi rojiun..Allahumma firlahu warhamhu waafihi wa’fuanhu..Turut berduka cita min..dari seminggu yg lalu buka ini nungguin update an mimin,ternyta dapat berita duka,yg sabar min..curhat dsni aja min,kami selalu mendengarkan kisahmu..

  4. Inalillahi wa inna ilaihi rojiun.
    Turut berduka sedalam-dalamnya mbak. Semoga beliau husnul-khatimah. Aamiin.
    Semoga lancar usaha petshop nya. Semoga mbak dan keluarga selalu sehat dan senantiasa bahagia. Aamiin…

  5. Turut berduka cita mba, semoga almarhum bapak Qusnul Khotimah & keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan & kesabaran🙏🏻
    Salam untuk ibu mba, semoga sehat & tetap tabah🙏🏻
    Hari ini tepat 1 tahun bapak sy juga berpulang, berat rasanya kehilangan sosok bapak🥲
    Walau dibilang sudah siklus kehidupan, tapi memang berat untuk kehilangan “selamanya”🥲

  6. Innalilahi wa innailaihi rojiun… Husnul khatimah bapak…
    Turut berdukacita mimin, semoga mimin selalu diberi ketabahan dan dalam lindungan Allah. Amin.
    (Bacanya sambil berkaca2 ini, bisa ngerasain sedihnya mimin)

  7. Innalillahi wainnailaihiroji’un, turut berfuka cita yg sedalam2 nya semoga beliau husnul khotimah.
    Tetap semangat ya mba apapun cobaan hidup ini semoga dpt dilalui dgn baik. Dan tetap brrdo’a kpd Allah subhanahuwwata’ala.

  8. Innalillahi wainnailaihi rojiun, semoga beliau husnul khotimah dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi cobaan ini, serta keluarga mbak selalu dalam lindungan Allah SWT, aamiin
    Semangat selalu mbak, smoga usahanya sukses, aamiin..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!