*tulisan ini sudah lama pernah terbit di blog lama. kemudian saya posting di sini.
“Mama sama Papa kan sudah nggak bareng lagi. Kata Tante, kalau bareng, jadi nggak bahagia.”
“Hah?”
“Bahagia itu apa Kak?”
Bagaimana kalau kalimat itu ditanyakan kepada kamu dari gadis kecil yang masih duduk di bangku TK? Kamu harus membuat definisi bahagia yang sekontekstual mungkin dengan kalimat yang menjadi keterangan sebelumnya?
Sebuah perpisahan dan kebahagiaan (kalimat yang puitis ya?)
Gimana? Bisa?
Menjawab pertanyaan dari anak-anak kadang terasa tidak mudah.
Kasih saya waktu. Saya bisa tulis sebuah tulisan dengan tema tersebut. Mau pakai gaya tulisan yang seperti apa? Mau pakai data? Bisa saya lakukan. Target pembacanya? Jelas bukan anak-anak.
Kalau langsung ngomong jawaban untuk anak tadi, rasanya…. *heuheu
Yha, saya pikir terkadang menulis bisa menjadi lebih mudah jika dihadapkan dengan kondisi di atas. Saya harus mencari-cari kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan anak-anak. Jika tidak? Saya akan kehilangan kepercayaan darinya. Sesuatu yang sudah pernah saya rasakan dulu. Saat menjadi anak-anak.
Weh? Kenapa jadi anak-anak? Mau ngebahas tema parenting nih?
Kagak. Sejak kapan blog saya jadi tema parenting?
Saya cuma sedikit membaca buku tentang menulis novel. Di dalamnya ada tip jika buntu dalam bercerita maka penulis harus kembali ke masa anak-anak sang tokoh. Btw, saya sih bacanya doang kalau masalah menulis novel, praktek bikin novel mah kagak. Hehe
Buntu. Itulah yang sedang saya hadapi belakangan. Selain beberapa minggu kemarin emang nggak bisa nulis sama sekali. Jadi, maap buat yang nungguin *ke ge er an.
Jadi, mari kembali ke masa kecil saya. Untuk mencoba menjawab pertanyaan hal terbaik apa yang dirasakan dalam menulis.
Ketika saya masih anak-anak dan pertanyaannya
Kalau bayi itu keluar dari mana?
Kenapa kalau malam harus tidur?
Kenapa tangan kanan dibilang tangan bagus? Emangnya tangan kiri nggak bagus? Sama bagusnya kan? Dua-duanya cantik malah… *sambil ngelihat tangan sendiri.
Tuhan itu apa? Siapa?
Kenapa tempat ibadah disebut rumah Tuhan? Tuhan ada di situ saja? Atau ada di mana?
Tidak cukup di situ…
Saya dulu selalu bertanya kenapa saya harus “salim” pada yang lebih tua? Buat apa? Kalau salaman kayak biasa tanpa mencium tangan apa nggak boleh?
Saat kelas tiga, saya pernah bertanya pertanyaan yang bikin pusing orang lain dan diri sendiri. “Apa benar saya hidup? jangan-jangan cuma mimpi? Kalau cuma mimpi, gimana cara bangunnya?
Saat ada orang tua teman saya memarahi saya dengan kalimat “Kamu kalau mecahin barang nanti dimarahi Tuhan lho?”. Saya jawab “Nggak mungkin. Tuhan emangnya pemarah? Cuma gelas yang pecah? Katanya Tuhan Maha Kaya? Cuma gelas doang. Kalau Tuhan marah, caranya marah sama saya itu gimana?”
Pada suatu pemakaman saya ingat jelas pernah bertanya pada Kakak sepupu saya; “Jadi, manusia itu aslinya nggak ada?”
Kok Golkar menang terus sih? (itu lhooo saat zaman itu lhooo, ah jangan-jangan mayoritas pembaca saya belum pada lahir). *tua sekali saya.
Ketika dibenturkan pada kenyataan
Saya pikir sangatlah wajar bila anak-anak selalu punya pertanyaan. Entah yang dipikir orang dewasa adalah pertanyaan biasa atau pertanyaan yang agak ajaib. Toh saya yang sekarang pun masih suka sekali bertanya.
Namun, ketika pertanyaan masa kecil saya dibenturkan dengan lingkungan. Tak jarang saya mendapatkan kekecewaan, jawaban para orang dewasa sering sekali begini “kamu kan sekolah, nanti di sekolah diajari”, bahkan pernah pertanyaan saya dijawab asal-asalan hingga saya tidak lagi percaya.
Saya sering dicap kurang penurut dan agak merepotkan.
Gpp sih, dicap demikian. Dicap di kecamatan kan lebih nggak enak, emangnya saya apaan!!!. *baeq, kayaknya kurang lucu.
Pencarian tidak pernah berhenti
Saya tidak tumbuh dalam lingkungan dengan budaya membaca yang baik, tapi saya jadi banyak cari tahu dengan membaca.
Nggak… akses saya terhadap bacaan tidak sebagus anak bayi zaman now yang sudah dikasih bantal yang kaya buku buat baca itu. Bantal saya lebih terbentuk natural tulisannya (kena air liur). Akses membaca saya lebih banyak dari majalah, koran, tabloit lama dari warung milik Kakak saya.
Beli majalah bobo baru aja udah mewah banget buat saya dulu. Soalnya mesti nunggu ibu saya ke kota dan itupun kalau lagi ada. kalau nggak ada? ya mamam koran bekas lagi aja. Majalah bobo pertama yang saya beli hadiahnya foto Sherina cuy. Harganya 3500 sudah termasuk pajak.
Pokoknya lumayan banget deh meskipun cuma baca koran, majalah, tabloit bekas. Zaman now udah nggak musim tuh pasokannya di warung, yang ada cuma bekas lembaran promosi alfamart atau berkas dari kementrian embuh yang sengaja dirongsokin.
Efek dari membaca koran, tabloit, majalah lama?
Baca puisi di kompas, jadi bikin puisi. Baca cerita di majalah bobo, jadi bikin cerita binatang-binatangan. Baca tempo, jadi tahu tulisan Goenawan Muhammad (dulu sih tahu aja, ngerti kagak). Baca tabloit cerpen remaja, jadi suka cerpen dan bikin cerpen aneh juga sering. Baca ramalan zodiak lama jadi? Yha nggak jadi gimana-gimana, cuma baca aja. Baca koran bahasa mandarin, jadi mumet.
Kemudian dari membaca, timbul ingin menulis. Apa saja, suka-suka saya.
Bagaimana dengan sekolah? Mampukah sekolah menjawab sederet pertanyaan saya?
Gimana ya? Lumayan pelik nih. Apa benar sekolah memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya?
Pertanyaan saya tetap banyak. Tapi, saya banyak diam. Diem-diem bae. Saya bahkan tidak mendapatkan rasa aman dalam bertanya, menyampaikan pendapat apalagi menyanggah.
Saat kelas 2 SMP, guru matematika saya pernah bertanya di mana Allah? (iya nggak salah baca, guru matematika).
Satu kelas terdiam.
Kemudian saya menjawab, “di mana-mana”.
Langsung saja jawaban saya disanggah dengan jawaban “Allah ada di singgasana bernama Arsy”. Beliau berkali-kali mengatakannya dan menekankan bahwa Allah tidak ada di mana-mana seperti jawaban saya dengan penjelasan panjangnya.
Saya pun terdiam. Pengen tanya tapi merasa “tidak aman”. Saya ingat betul, dengan nada dan caranya menatap, saya merasa dipermalukan karena jawaban saya.
(Pengen tanya aja sih, itu kelas sebelah udah istirahat. Ini kapan istirahatnya. Kan pengen jajan L)
Rasa tidak aman ini sebenarnya tidak muncul begitu saja. Sebelumnya, saya dan teman-teman sudah kenyang dengan repon ketika bertanya pada kebanyakan guru dan hasilnya hanya dimarahi atau dicap tidak menurut karena bertanya.
Cuma gara-gara nanya doang cuy. Nanya doang!!!
Ah katanya anak harus tumbuh kreatif dan kritis. Tapi kok?
Kalau kreatif adalah kemampuan mencipta sesuatu. Maka kritis adalah kemampuan memeriksa suatu masalah. Kreativitas acap kali menemukan sesuatu yang baru tanpa tahu betul apa masalah sebenarnya. Berpikir kritis selalu diperlukan.
Sebuah daya kreatif selalu melibatkan perspektif yang berbeda, bagaimana melihat dengan cara baru, mencari sebuah celah, membebaskan diri dari perangkap pola pikir, sebuah fleksibilitas imaginasi atau bisa jadi sebuah lompatan.
Proses bertanya adalah awal mulanya. Kata saya sih gitu.
Saya yakin anak-anak yang kreatif dan mampu berpikir kritis tidak pernah lahir dari lingkungan yang tidak memberikan rasa aman dalam bertanya, berdiskusi, berpendapat atau menyanggah. Sekolah harus memberikan ruang aman itu. Juga keluarga.
Kemudian saya coba menulis…
Mari dicoba sedikit. Sedikit saja. Pada usia saya sekarang dan pertanyaannya masih sama seperti kasus di atas.
Sebuah pertanyaan. Tuhan ada di mana?
Sebuah ranjang dan saya berbaring di sana dengan suhu tubuh 38.5 derajat celcius. Infus sudah dipasang di tangan kiri. Beberapa suntikan yang membuat ngilu sudah diberikan.
Hanya diam menatap langit-langit, tanpa seorangpun di samping saya. Kemudian sebuah momen terjadi.
Detak jantung yang tiba-tiba rasanya terlalu cepat. Begitu cepatnya sampai terasa begitu melelahkan hingga tenaga seperti habis. Suara jantung adalah satu-satunya bunyi yang terdengar sebelum semua menjadi kekosongan. Saya tidur. Lebih tepatnya tidak sadar.
Sebelum kekosongan itu, saya bertanya “apakah saya akan pulang?”
Saya menemukan Tuhan dalam degup itu. Sebuah ketakutan yang saya rasakan tanpa bisa dibagi pada orang lain. Ketika ketidakberdayaan begitu lekat. Hidup dan mati hanya dipisahkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak diketahui. Kapan saja, degup yang begitu cepat itu bisa berhenti kapan saja. Momen di mana saya hanya bisa merasakan dengan pasrah akan keangungan-Nya.
Kemudian pada momen lainnya…
Hari gerimis yang masih terlalu dini. Pukul 03.00 pagi, saya baru pulang dari Bogor. Pada kelelahan yang amat, sedikit takut dan bingung bagaimana saya bisa sampai rumah karena kemungkinan tidak ada kendaraan. Padahal perjalanan hanya menyisakan satu kilometer saja untuk sampai di rumah. Jalan kaki bukan pilihan.
Kemudian, seraut wajah yang samar dengan payung besar yang tidak asing. Berdiri di pinggir jalan ketika saya turun dari bus. Dia Bapak. Saya sadar tidak sedang berhalusinasi saat Bapak memanggil nama saya. Kemudian dia bilang “Naik becak saja, nanti dicari. Bapak di belakang ngikut naik sepeda.”
Saya menemukan Tuhan pada lelaki yang saya panggil Bapak. Lelaki yang tidak banyak bicara, bahkan saya masih kesulitan berbicara padanya. Menurut cerita orang-orang, cinta pertama anak perempuan adalah Bapaknya. Saya tidak demikian. Bapak bukan cinta pertama saya. Bapak adalah cinta yang selalu saya upayakan apapun kondisi yang menyertainya. Disembunyikan atau dinyatakan. Nampak atau tidak.
Pada Bapak yang menanti saya pada dini hari yang gerimis. Saya merasakan getaran yang mengalir. Sebuah kehadiran yang mungkin akan selalu. Selalu.
Seorang teman menemukan Tuhan pada wajah anaknya yang tidur dengan lelap usai menangis tak henti-henti. Seorang teman lainnya merasa menemukan Tuhan saat berada di puncak gunung. Ada lagi yang menemukan Tuhan pada kabin pesawat yang ia tumpangi.
Tempat dan situasi bisa menarik kita pada Dia. Sesuatu yang menggugah jiwa. Kita dihadapkan dengan Yang Maha. Sementara yang kita miliki adalah ketakutan, keterkejutan, kekerdilan, ketidaktahuan, keterbatasan atau barangkali cinta yang lemah.
Namun, sebuah “kehadiran” pastilah sangat relatif. Tidak pernah sama. Tidak bisa diulang bahkan mungkin tak bisa diperoleh pada tempat dan situasi yang mirip. Maka tiap usaha manusia dalam pencariannya selalu sayup.
Momen selalu berubah dan sangat tak terduga. Padanya saya belajar yang sementara dan kekal. Kemudian tak henti-hentinya menjadi takjub.
Saya yang sekarang…
Kenapa pintu ATM tulisannya tarik tapi ternyata bisa juga didorong? Kenapa saya merasa dibohongi?
Kenapa squidward, patrick, spongebob, semuanya lajang? Adakah yang akan cinlok dengan Sandy?
Kenapa kepala saya muter lagu syantik terus? Kenapa? Apa saya sakit jiwa?
Apa yang ada dalam benak seekor kuda yang dinaiki Awkarin dalam video klip lagu anu itu? Apakah sang kuda merasa bangga?
Apa pengering tangan bisa ngeringin rambut juga?
Kenapa saat menolak naik angkot. Eh Abang-abangnya malah nurunin penumpang di depan saya rasanya begitu menyakitkan?
Kenapa saya nggak pernah bisa membelah sumpit secara simetris? Haruskah saya membelah pinang supaya berhasil menghasilkan hasil simetris? Seperti peribahasa itu?
Dia kalau gosok gigi. Sikatnya yang deketin gigi apa giginya yang deketin sikat? Terus kalau mencet odol, dari tengah apa dari ujung? Sebentar… dia siapa?
Kenapa kalau abis nyuci motor, eh nggak lama malah hujan? Apa cuma saya yang begini?
Kenapa kalau ada pengumuman orang meninggal dari masjid pas bagian ngomongin nama malah ada mobil/motor lewat? Jadi nggak kedengeran kan? Kenapa? kenapa pas dibagian nama? Kenapa?
Sudah ah sudah…
Saya masih bertanya. Walaupun kadang yha begitu. Kadang hanya bertanya saja tanpa ada kepentingan tertentu untuk menjawab.
Baik. Mari buat kesimpulan saja. Udah kepanjangan tulisannya.
Jangan dikira saya pintar dalam hal akademis saat sekolah dulu. Saya biasa saja (biasa diremedial), pun tidak pernah membawa piala ke rumah. Tidak punya penghargaan yang macam-macam. Dapat ranking saja jarang-jarang. Pendidikan saya juga tidak tinggi.
Pertanyaan yang muncul pada masa kecil murni dari rasa ingin tahu anak-anak saja. Saya nggak pernah baca buku macam-macam saat anak-anak (mentok komik Tatang. S, yang ada Petruk dan Gareng itu).
Akses terhadap buku amatlah terbatas, yang cukup melimpah hanya media cetak yang sudah masuk kategori rongsokan yang akan dijual kembali untuk bungkus nasi. Kalau buku? Itu palingan minjem dari yang mau minjemin aja.
Jangan dipikir juga saya terlalu gemar membaca demi memenuhi rasa ingin tahu. Membaca tabloit biasanya langsung ngacir ke zodiak, baca esai dan opini sudah bikin saya sakit kepala, baca majalah langsung ke artis-artis yang cakep. Semuanya tumbuh amat perlahan. Sampai pada titik di mana saya menikmati aktivitas membaca.
Sampai pada titik saya ingin juga menulis, walaupun kebanyakan adalah untuk konsumsi sendiri.
Hal terbaik dalam menulis?
Tidak mendapatkannya ruang yang aman dalam bertanya apalagi ruang diskusi memaksa saya untuk membaca (mencari tahu sendiri). Aktivitas membaca secara perlahan menggiring saya pada keinginan untuk menulis.
Sempat saya merasakan suatu “kebebasan” dalam menulis. Saya bisa melepaskan berbagai macam emosi terpendam dalam tulisan. Tapi saya pikir lagi bukan itu bagian terbaiknya. Ahh kebebasan, apa pula ini? dipikirkannya saja sudah bikin saya nggak bebas.
Maka ini jawaban saya;
Hal terbaik dalam menulis?
Adalah keterbatasan.
Keterbatasan saya dalam memilah pertanyaan yang baik. Keterbatasan saya dalam memaparkan jawaban. Keterbatasan saya dalam menuangkan ide dalam sebuah tulisan. keterbatasan saya mencari ide pendukung. Keterbatasan untuk tahu, apalagi memahami apapun yang sedang diangkat menjadi bahan tulisan.
Pada akhirnya, menulis adalah memperlihatkan betapa lemahnya saya. Tapi, tanpa keterbatasan untuk tahu, mungkin saya tidak akan bertanya.
Jadi, jangan gampang percaya dengan apa yang saya tulis. Kalau saya kasih tip anu-anu, jangan telan mentah-mentah. Temukan saja lewat caramu.
Namun, merupakan suatu kehormatan bagi saya bisa menemani beberapa menit dalam hidup kamu lewat tulisan ini. hehe…
Gimana? Apa hal terbaik dalam menulis menurut kamu?
2018, ditemani rasa njarem.
Terima kasih sudah sudi membaca. Selamat bulan juli.